Inforakyat.id – Lonjakan restitusi pajak yang mencapai Rp144,38 triliun pada triwulan I tahun 2025, dengan restitusi PPN senilai Rp113,29 triliun, memicu sorotan tajam. Restitusi PPN dari sektor komoditas, khususnya batubara, menjadi perhatian utama. Mengapa perusahaan tambang batubara menerima restitusi PPN yang begitu besar, sementara potensi penerimaan negara justru menguap?
Ekspor batubara Indonesia pada semester I 2025 mencapai 238 juta ton dari total produksi 357,6 juta ton, atau sekitar 66,6%. Walaupun belum ada data resmi mengenai nilai restitusi PPN batubara, diperkirakan lebih dari 50% restitusi berasal dari sektor ini. Dengan penjualan lokal hanya 33,4%, potensi PPN Masukan batubara diperkirakan mencapai Rp85 triliun.

Sebelum adanya perubahan regulasi, barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya bukan merupakan objek PPN. Artinya, PPN yang dibayarkan perusahaan tambang kepada pemasok atas pembelian barang atau jasa untuk kegiatan tambang tidak dapat direstitusi atau dikreditkan. PPN ini menjadi biaya produksi, mengurangi laba usaha, dan secara langsung menambah penerimaan negara sebesar Rp85 triliun.
Namun, sejak 1 April 2022, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengubah status hasil tambang menjadi objek PPN. Perubahan ini berdampak signifikan, membuat PPN Masukan pada perusahaan tambang menjadi dapat dikreditkan. Karena penjualan lokal batubara hanya 33,4%, PPN Masukan menjadi lebih besar dari PPN Keluaran, sehingga perusahaan tambang berhak atas restitusi PPN. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas kebijakan dan potensi kehilangan penerimaan negara.